Hujan turun perlahan, menetes di kaca jendela kamar yang remang-remang. Aroma tanah basah bercampur dengan udara malam yang dingin, menciptakan suasana yang begitu intim. Di dalam kamar hotel yang luas, Raka duduk di sofa, matanya tak bisa lepas dari sosok di hadapannya.
Alya berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadapnya, membiarkan cahaya lampu kota yang temaram memantulkan siluet indah tubuhnya. Gaun sutra tipis yang dikenakannya mengikuti lekuk tubuhnya dengan sempurna, membiarkan kulitnya yang halus bersinar di bawah cahaya redup.
Raka menelan ludah. Matanya mengikuti setiap gerakan Alya—cara rambut panjangnya jatuh di punggung, bagaimana jari-jarinya menyentuh kaca jendela yang berembun, dan bagaimana napasnya terlihat tenang, meski atmosfer di antara mereka begitu tegang.
“Kau suka hujan?” tanya Alya, suaranya lembut dan nyaris berbisik.
Raka tersenyum kecil, menyesap anggur di tangannya sebelum menjawab. “Aku lebih suka cara hujan membuat segalanya terasa lebih intim.”
Alya menoleh, tatapannya penuh arti. “Seintim ini?” tanyanya pelan, berjalan perlahan mendekatinya.
Raka merasakan detak jantungnya semakin cepat saat Alya berdiri begitu dekat, membiarkan aroma tubuhnya yang segar mengisi udara di antara mereka. Jari-jarinya menyentuh bahunya dengan lembut, seperti sebuah isyarat yang tak perlu diucapkan.
Di luar, hujan semakin deras, membasahi jendela, menciptakan ritme halus yang seakan mengiringi momen yang perlahan tercipta di antara mereka. Keheningan menjadi bahasa yang lebih jujur dari kata-kata, sementara dalam ruangan itu, batas di antara mereka semakin menghilang.
Malam itu, mereka tidak hanya menikmati hujan—tetapi juga keindahan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.