Malam itu, angin berhembus lembut di luar jendela kamar hotel. Tirai putih bergerak pelan, membiarkan cahaya lampu kota masuk, menerangi ruangan dengan kilauan keemasan yang samar.
Sinta duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun tidur sutra yang jatuh lembut di tubuhnya. Napasnya sedikit tak beraturan, jantungnya berdebar dalam ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Di hadapannya, Bayu berdiri, menatapnya dengan mata yang penuh kehangatan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang sudah mereka pendam begitu lama.
“Sinta…” suara Bayu terdengar pelan, hampir berbisik.
Sinta menelan ludah, tatapannya tak bisa lepas dari pria yang kini berada begitu dekat dengannya. Ia tahu apa yang sedang terjadi—ia tahu batas yang perlahan menghilang di antara mereka.
Jemari Bayu menyentuh pipinya dengan lembut, menyusuri garis wajahnya hingga turun ke bahunya. Sentuhan itu membuat tubuhnya gemetar halus, napasnya tertahan. Ia bisa merasakan kehangatan yang menjalar di kulitnya, membakar dari dalam, menghapus semua keraguan yang sebelumnya ada.
Sinta menutup matanya saat bibir mereka akhirnya bertemu, dalam kecupan yang awalnya ragu, namun semakin lama semakin dalam. Napas mereka saling beradu, membaur dengan desir angin malam yang masuk melalui jendela.
Di luar, kota tetap sibuk, mobil-mobil berlalu di jalanan. Namun di dalam kamar itu, waktu seolah berhenti. Hanya ada mereka berdua, terikat dalam malam yang tak hanya sekadar sebuah pertemuan—tetapi sebuah rahasia yang akan mereka simpan selamanya.