Malam itu hujan turun perlahan, membasahi jalanan kota yang mulai lengang. Nadine duduk sendirian di dalam mobil, tangannya masih gemetar setelah pertengkaran hebat yang baru saja terjadi dengan suaminya. Kata-kata kasar masih terngiang di kepalanya, emosi yang belum reda bercampur dengan keinginan untuk pergi jauh dari rumah yang kini terasa begitu dingin.
Tanpa sadar, ia menghubungi seseorang.
Tak lama, ia tiba di sebuah apartemen di pusat kota. Pintu terbuka sebelum ia sempat mengetuk, memperlihatkan Adrian—seorang pria yang selama ini hanya menjadi teman, tetapi entah mengapa, selalu ada di saat ia membutuhkannya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Adrian, suaranya lembut, berbeda dengan nada tinggi yang tadi memenuhi rumah Nadine.
Ia tidak menjawab, hanya melangkah masuk dan berdiri di tengah ruangan, mencoba mengatur napasnya. Adrian menutup pintu, lalu mendekat, tangannya menyentuh bahu Nadine dengan perlahan. Sentuhan kecil itu membuatnya meneguk ludah, ada sesuatu yang berbeda dalam kehangatan jemari pria itu.
“Aku lelah,” bisiknya.
Adrian menatapnya lama, sebelum akhirnya menariknya dalam pelukan. Nadine seharusnya menolak, tapi dadanya berdebar kencang, tubuhnya merespons dengan cara yang tidak ingin ia akui. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan yang terasa lebih jujur daripada apa yang selama ini ia dapatkan di rumah.
Dalam keheningan, bibir mereka akhirnya bertemu—awal yang ragu, namun semakin lama semakin dalam. Ada sesuatu yang mendesak dalam ciuman itu, sesuatu yang lebih dari sekadar pelarian.
Hujan semakin deras di luar, seolah menyembunyikan apa yang terjadi di dalam apartemen itu. Malam ini, Nadine tidak memikirkan apa pun. Tidak tentang suaminya, tidak tentang batasan yang seharusnya ada. Hanya tentang dirinya sendiri—dan bagaimana, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa diinginkan.