Senja mulai turun di kota kecil itu, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah. Udara sore terasa hangat, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Raka duduk di teras belakang rumah, menikmati secangkir kopi yang hampir dingin.
Dari dalam rumah, langkah kaki terdengar mendekat. “Aku buatkan teh, kau masih suka teh jahe, kan?” suara lembut itu terdengar familiar.
Raka menoleh dan melihat Alina—sepupunya. Ia tersenyum kecil, mengangguk. “Terima kasih. Aku hampir lupa rasanya.”
Alina duduk di sampingnya, menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. Matanya berbinar dalam cahaya senja. “Senang akhirnya bisa mengobrol lagi. Dulu kita sering begini waktu kecil,” katanya pelan.
Raka mengangguk. Ada sesuatu yang berbeda dalam atmosfer malam itu. Mungkin karena suami Alina sedang keluar kota, atau mungkin karena cara tatapan mereka bertemu lebih lama dari biasanya.
Saat angin berhembus lembut, Alina menyandarkan kepalanya di bahu Raka. “Kau masih ingat dulu aku pernah berkata, kalau kau bukan sepupuku, mungkin aku…” Ia tak menyelesaikan kalimatnya, hanya menghela napas pelan.
Hening.
Jari-jari Raka bergerak perlahan, menyentuh jemari Alina yang terbuka di pangkuannya. Napas Alina sedikit tercekat, tetapi ia tak menarik tangannya. Seakan ada sesuatu yang tak terucap, tetapi dipahami oleh keduanya.
Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, menyisakan siluet samar di balik tirai jendela. Malam ini, rahasia yang dulu hanya ada dalam lamunan akhirnya hadir di antara mereka—di antara desir angin dan kehangatan yang perlahan mengalir.
