Malam di apartemen Varah terasa begitu sunyi. Hanya suara hujan yang jatuh perlahan di jendela, menciptakan irama yang menenangkan. Lampu kamar menyala redup, menerangi ruangan dengan cahaya hangat keemasan.
Varah duduk di atas ranjangnya, tubuhnya terbungkus jubah sutra tipis yang membalut kulitnya dengan sempurna. Rambut panjangnya tergerai di bahunya, dan napasnya sedikit lebih berat dari biasanya.
Hari itu begitu panjang. Ia lelah, bukan hanya fisik, tapi juga pikirannya. Ada sesuatu yang menggelitik perasaannya, sesuatu yang menghangatkan tubuhnya dari dalam. Keheningan malam membuatnya lebih sadar akan desiran kecil yang merayap di kulitnya sendiri.
Ia bangkit, melangkah ke meja kecil di sudut kamar, membuka laci dan menarik keluar sebuah benda yang sudah lama menemani malam-malam kesepiannya. Jemarinya menyusuri permukaannya dengan lembut, lalu ia berbaring kembali di ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelembutan kasur.
Hujan semakin deras di luar, mengiringi desahan napasnya yang semakin dalam. Matanya terpejam, bibirnya sedikit terbuka saat jemarinya mulai menjelajah. Sensasi kehangatan menjalar perlahan, menggoda setiap inci kulitnya dengan cara yang hanya ia sendiri yang tahu.
Tubuhnya melengkung halus, ritmenya semakin cepat, seolah mencari sesuatu yang lebih dalam. Hujan yang semakin deras menjadi satu-satunya saksi, sementara ia membiarkan dirinya hanyut dalam kenikmatan yang tak terbendung.
Dan ketika akhirnya tubuhnya menegang sejenak sebelum terhempas dalam gelombang kepuasan yang luar biasa, Varah tersenyum kecil dalam keheningan. Ia menarik napas panjang, membiarkan tubuhnya rileks dalam dekapan malam yang begitu hangat.
Di luar, hujan terus turun, menyapu jendela dengan tetesannya—membiarkan malam ini tetap menjadi rahasia yang hanya ia dan waktu yang tahu.
